Kehadiran
layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia
dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun
yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA
pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali
pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam
Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama
menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir
ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski
secara formal istilah ini belum digunakan.
Bersamaan dengan
perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan
untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati
demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling
sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat
ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat
dengan profesi bimbingan dan konseling.
Dalam tataran teoritis,
teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan
sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya
dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam
pembelajaran untuk mata pelajaran – mata pelajaran di sekolah.
Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh
perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan
konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran
kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan
rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para
konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling
yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah
tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan
kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling.
Kendala terbesar yang
dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang
handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan
justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling
sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena
penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, bimbingan
dan konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat
kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut
pandangan penulis,
setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap
laju perkembangan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia , yaitu :
1. Kelangkaan Tenaga Konselor
Tenaga konselor yang
berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan
di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan
Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional
dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga bimbingan dan konseling
terpaksa banyak direkrut dari non bimbingan dan konseling, yang mungkin
hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan
konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali
pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling, yang
tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan
konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.
Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply.
Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan
belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya
relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan
rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri
Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya,
tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak
langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai
Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu
menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya
kebutuhan tenaga konselor di daerahnya.
Oleh karena itu, ke
depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan
memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga
kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi.
2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi bimbingan dan konseling
Banyak terjadi
kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang
profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru
pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh
kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang
bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen
KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang
bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan
Diri.
Begitu juga, dalam
kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan
pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan
dan pelaksanaan bimbingan dan konseling, karena format penilaian yang
disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian
perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih
banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik
yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan
kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini
akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo
dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh
para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan
dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber
permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam
kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya,
bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari
pemerintah untuk secepatnya menata profesi bimbingan dan konseling,
salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan
para pakar bimbingan dan konseling untuk duduk bersama merumuskan
bagaimana sebaiknya kebijakan bimbingan dan konseling untuk hari ini dan
ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar
yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan
profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. !
Dengan teratasinya
kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam
menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan
memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga
profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang
dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini.
Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam
posisi termarjinalkan.
================
DIAMBIL DARI :
*)) Akhmad Sudrajat,
M.Pd. Pengawas Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan
Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU.
0 komentar:
Posting Komentar